Bandar Lampung–Sejumlah orang tua wali murid Sekolah Dasar Negeri (SDN)  01 Jagabaya 1, Bandar Lampung mengeluhkan dana penebusan sampul raport sebesar Rp 55 ribu per siswa yang ditetapkan pihak sekolah.

“Saat pengambilan raport kami disuruh bayar Rp 50 ribu sampai Rp 55 ribu untuk nebus sampul raport,” ujar sejumlah orang tua wali SDN 01 Jagabaya 1 secara bersamaan, Sabtu (18/06/2021).

Di tambahkan, murid yang tidak mempunyai dana sebagian dari mereka belum menerima sampul raport. Padahal pemungutan dana atau penebusan sampul raport tidak pernah dilakukan musyawarah sebelumnya.

“Anak saya hanya menerima kertas nilai, sampul raportnya belum diberikan karena belum membayar uang penebusan,” kata seorang wali murid yang identitasnya minta dirahasiakan.

Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Sekolah SDN 1 Jagabaya 1, Siti Hodijah. Ia berdalih, biaya dikenakan untuk pengadaan sampul raport, karena sekolah tidak bisa mengcover melalui dana BOS.

“Memang ada biaya penebusan raport, itu atas inisiatif saya, dan saya cetak pakai dana pribadi, kalau dapat untung seribu sampai lima ribu mah wajar lah namanya juga dagang,” ujarnya.

Diakuinya, sekolah tidak bisa melakukan musyawarah dengan wali murid mengenai pungutan itu karena pandemi.

“Kita umumkan lewat group WA soal adanya penebusan raport,” ucapnya.

Ia juga merasa keberatan dengan adanya rekaman video dari seorang wali murid saat transaksi penebusan raport yang dibagikan kepada media, menurutnya hal itu melanggar UU ITE.

“Kami keberatan karena merekam video tanpa izin. Kami malu karena video itu sudah sampai ke dinas dan kami ditegur dinas,” tukasnya.

Terpisah, dimintai tanggapannya, Aktivis Lembaga Analisis Pemerhati Anggaran (Lapang) Provinsi Lampung, Jhoni GS, SH menyesalkan adanya pungutan dari sekolah saat penebusan raport peserta didik.

Menurut Jhoni, hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012. Dalam Pasal 9 Ayat 1 menyebutkan, satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan / atau pemerintah daerah dilarangmemungut biaya satuan pendidikan.

Ia menegaskan, seluruh pungutan dan sumbangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012. Dalam Pasal 9 Ayat 1 menyebutkan, satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah, dan / atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan.

“Apapun bentuknya, satuan pendidikan dasar di bawah pemerintah dilarang memungut iuran, titik, tidak ada alasan apapun,” tegas Jhoni.

Jhoni menyebut, selama ini banyak keluhan terkait modus yang dilakukan sekolah mulai dari dalih untuk mengganti seragam, buku hingga pelampiran surat kesediaan orang tua berdasarkan kesepakatan komite sekolah.

Modus semacam itu, kata Jhoni, di anggap kepala sekolah sebagai surat sakti untuk melegalkan praktik pungutan kepada wali murid.

Padahal dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 12 huruf (a) menyebut, Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam atau bahan pakaian seragam di sekolah.

“Nah ini yang kadang-kadang sering disalahpahami, salah kaprah semuanya. Saya bicara saja terus terang, seringnya malah terjadi penyiasatan (oleh sekolah),” katanya.

Untuk itu, masalah kebutuhan seragam dan lain-lain, kata dia, sebaiknya diserahkan kepada wali murid. Wali murid difasilitasi untuk bermusyawarah dengan komite sekolah dan segala keputusan tidak pula menjadi kewajiban yang memberatkan.

“Jadi kalau sifatnya wajib dan ada jangka waktunya itu konteksnya pungutan, jadi harus dikembalikan,” katanya

Meski demikian, lanjutnya, ada sekolah yang merasa keberatan untuk mengembalikan pungutan karena terlanjur keluar modal untuk biaya cetak sampul raport. Jhoni pun menyebut jika aturan bersifat rigid dan tidak ada toleransi.

“Kalau bilang terlanjur keluar modal. lho kalau gitu ada pengadaan dong, siapa yang menyuruh ada pengadaan? Ini (Permendikbud) harus ditaati,” tegasnya.

Untuk itu, Jhoni berpesan kepada wali murid untuk melapor ke dinas jika tidak ada itikat baik dari sekolah untuk mengembalikan pungutan. Sebab dia khawatir budaya pungutan ini akan terus terjadi jika wali murid selalu bersikap maklum.

“Sebaiknya disampaikan dulu ke satuan pendidikan langsung. Kalau dirasa masih susah bisa mengirimkan laporan melalui instansi terkait yakni dinas pendidikan dan inspektorat, dan kalau misal belum merasa terselesaikan bisa melaporkan ke Ombudsman dan kami siap mendampingi,” terangnya.

Dikatakannya, wali murid jangan takut untuk melaporkan dugaan pungutan yang dilakukan sekolah, karena Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan hak setiap warga negara Indonesia.

“Jangan takut untuk membuka praktik pungli, karena dalam UU KIP negara menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan. Dan mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat hidup orang banyak,” bebernya mengakhiri.(red002).