Bandar Lampung–Penerangan jalan umum merupakan salah satu pelayanan Pemerintah Daerah yang digunakan untuk kepentingan umum. Pengelolaan PJU sepenuhnya wewenang Pemda sebagaimana termaktub dpada Pasal 1 ayat (12) Peraturan Pemerintah No. 65/2001 tentang Pajak Daerah.
Ketua Bidang Pembelaan Anggota dan Organisas DPD IKADIN Lampung, Putra Nata Sasmita, SH, MH menyebut pembayar listrik PJU adalah pemda. Lalu Pasal 58 mengatakan bahwa pembayar PPJ adalah “penggunaan tenaga listrik. Kemudian daerah-daerah membuat perda, merujuk PP tersebut. pada Permehub No 27/2018 tentang alat penerangan jalan umum bahwa untuk mengoptimalkan fasilitas perlengkapan jalan berupa alat penerangan jalan.
“Guna mewujudkan keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pengguna jalan dalam berlalu lintas. Penentuan tarif telah diatur dalam pasal 61 (1) Tarif Pajak Penerangan Jalan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). (2) Tarif Pajak Penerangan Jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah,” beber Putra.
Dia melanjutkan, pemerintah daerah membuat kebijakan untuk penerangan jalan. Diusahakan semaksimal mungkin, dengan mengupayakan sebanyak 20 titik/KM panjang jalan. Dengan asumsi bahwa setiap 50 meter terdapat penerangan jalan, dengan daya lampu pelepasan gas (hight preasure sodium) 250 watt atau lampu led 100 watt, maka tidak ada blacksopt atau daerah yang gelap.
“Pengaturan ini terdapat pada Permehub No 27/2018 tentang Alat Penerangan Jalan. Dengan mempertimbangkan, Rasio Kemerataan atau Uniformity Ratio, Indek Perlindungan atau Index of Protection (IP), Colour Rendering Index (CRI) yaitu kemampuan sumber cahaya untuk menghasilkan warna benda yang disinari. Pada pasal 17, Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan adaptif pada aspek lalu lintas jalan. Yang dimaksud pada pasal 18 Alat Penerangan Jalan dengan pencahayaan adaptif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat dilakukan dengan metode, meliputi: a. memadamkan seluruh lampu mulai tengah malam atau période waktu tertentu menyesuaikan kondisi lalu lintas; b. memadamkan seluruh lampu pada salah satu lajur jalan; c. memadamkan lampu secara berselang-seling pada penempatan lampu sistem parsial; d. memasang 2 (dua) Luminer tiap tiang dan memadamkan salah satu; dan e. menggunakan teknologi dimming atau peredupan yaitu dengan mengurangi kuat pencahayaan. Tujuan dari pemasangan lampu jalan pada pasal 23. (2) Pemasangan Alat Penerangan Jalan pada persimpangan dan/atau bundaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan: a. aturan kuat pencahayaan; b. tata ruang pemasangan yang tersedia; c. prinsip dasar keselamatan lalu lintas; d. kenyamanan lalu lintas; dan e. arah pergerakan kendaraan,” urainya.
Putra menegaskan, bila pemerintah dalam hal ini melakukan pemadaman penerangan jalan Kota Bandar lampung, hal itu bertentangan dengan peraturan yang ada.
Meski pihak Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung mengaku telah menghemat anggaran sekitar Rp 600 juta untuk pemeliharaan penerangan jalan umum (PJU) di tahun 2019. Dengan mengganti penggantian peralihan dari lampu konvensional ke LED (Light Emitting Diode) berdaya 500 watt ganti LED 120 watt. (TribunLampung.co.id 19/2/2019). Ditambah dengan penyataan Darma Saputra, Asisten Manager Komunikasi dan Manajemen Stakeholder PLN UID Lampung, “Untuk pasokan listrik secara keseluruhan di Lampung ini marginnya dalam kondisi surplus, tidak defisit. Maksudnya jadi untuk pasokan listrik kita disini kelebihan 30%.
“Kami pastikan itu bukan inisiatif PLN, bukan juga instruksi atau perintah dari manajemen PLN, bukan juga dilakukan oleh orang-orang PLN terkait padamnya lampu jalan di Kota Bandar Lampung,” kata Darma Saputra dinukil dari Lampung Geh.( 20/07/2021)
Menurut Putra, rakyat sudah melaksanakan kewajibanya membayar pajak. Seharusnya pemerintah menunaikan tugasnya memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat.
“Sesuai dengan pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU. Dengan demikian, tidak ada pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat, tanpa adanya persetujuan wakil rakyat (no taxation without representation). Prinsip tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan dan jaminan hak warga negara selaku Wajib Pajak, agar tidak dikenai pajak atau pungutan lain secara semena-mena oleh pemerintah,” sebutnya.
Ia menyampaikan, kepastian hukum dalam perpajakan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
“Penerangan jalan merupakan public good yang harus disediakan pemerintah, bahkan menjadi tanggung jawab negara sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” imbuhnya.
Sambung Putra, karena penerangan jalan adalah tanggung jawab negara, maka fungsi alokasi harus dilaksanakan oleh negara dengan tidak membeda-bedakan apakah orang yang menikmati penerangan jalan tersebut adalah pembayaran pajak atau bukan (non exclusion).
“Pemadaman penerangan jalan selama kurun waktu satu minggu di bulan Juli 2021 merupakan tindakan yang tidak patuh melaksanakan UU dan aturan yang berlaku. Berdampak pada masyarakat sebagai pengguna jalan,” tukasnya.
Selain itu, hak-hak warga itu diatur jelas dalam UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, yang salah satu hak konsumen adalah berhak mendapatkan ganti rugi jika ada pemadaman listrik.
“Ini yang masyarakat dan pelanggan pada umumnya kurang mengetahui hak-haknya,” timpalnya lagi.
Di Australia, lanjut Putra, pemadaman listrik setengah hari berturut-turut maka konsumen dibebaskan tagihan listrik selama satu bulan. Di Jepang, menteri energinya menundukan kepala selama 20 menit sebagai permintaan maaf kepada rakyat karena ada pemadaman selama 20 menit.
“Jadi, masyarakat bisa melayangkan gugatan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa,” tegas Putra.(Ibr)